Media-Inspirasi, Prabumulih – Di tengah sorotan publik dan dinamika persidangan yang penuh dengan kontroversi, dugaan pemerasan yang melibatkan sahabat Ikatan Wartawan Online (IWO) Indonesia kembali mencuat. Kasus yang menimpa tiga sahabat dari Ogan Ilir dan Prabumulih ini mendapat perhatian serius, terutama ketika Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) IWO Indonesia, NR. Icang Rahardian, SH, MH, turun langsung sebagai penasihat hukum. Melalui investigasi mendalam, sejumlah fakta terverifikasi, data persidangan, serta dokumen resmi mulai membuka tabir ketidaksesuaian dalam proses hukum yang tengah berlangsung.
Kejadian bermula pada bulan Maret 2024, ketika salah satu penjual minyak curah di Prabumulih diduga menjadi korban pemerasan. Dua perkara pidana, yaitu Perkara Nomor 16/Pid.B/2025/PN Pbm (tersangka Sandi dan Ichsan) dan Perkara Nomor 17/Pid.B/2025/PN Pbm (tersangka Fajar), menjadi inti dari persidangan yang kini tengah digelar di Ruang Sidang Tirta Pengadilan Negeri Prabumulih.
Dalam sidang kedua yang berlangsung pada Senin, 03 Maret 2025, Ketua Majelis Hakim Melina Safitri, SH, bersama dengan Hakim Anggota Winda Yuli Kurniawati, SH, MH, dan Panitera Pengganti Ahmad Tri Habibi, SH, MH, mendengarkan dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum, Muhammad Ilham, dan rekan, Efran, yang menyampaikan tuduhan pemerasan. Dokumen persidangan dan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang telah diperiksa menunjukkan adanya kekeliruan dalam penyusunan dakwaan.
NR. Icang Rahardian, yang juga mewakili terdakwa, mengungkapkan bahwa isi dakwaan tampak identik atau hasil salinan (copy-paste) dari BAP. “Seharusnya majelis hakim memberikan kesempatan bagi terdakwa untuk mengajukan esensi keberatan. Dalam BAP dan dakwaan, padahal dakwaan adalah intisari dari BAP. Ini yang sangat penting untuk diperjelas,” ujarnya dengan tegas. Keterangan ini menimbulkan pertanyaan mengenai validitas data yang dijadikan dasar dakwaan, yang dinilai tidak memenuhi standar objektivitas hukum.
Salah satu isu krusial yang mencuat dalam persidangan adalah kredibilitas saksi. Icang menyoroti ketidak sesuaian penampilan dan prosedur verifikasi identitas saksi yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum. Dalam keterangan pers rilis, Icang menyatakan, “Saya sangat keberatan dengan saksi yang dihadirkan. Mereka tidak membawa KTP, dan menurut keluarga terdakwa tidak mengenal mereka. Seharusnya JPU yang bertanggung jawab memastikan identitas saksi.” Ia menambahkan bahwa beberapa saksi bahkan tampil dengan pakaian yang tidak pantas, seperti celana koyak dan sandal jepit, yang jelas menunjukkan kurangnya profesionalisme dalam proses persidangan.
Lebih lanjut, Icang mengungkapkan adanya dugaan konflik kepentingan di antara saksi. Salah satu saksi diduga memiliki hubungan keluarga dekat dengan pelapor, yang menurutnya seharusnya membuat saksi tersebut tidak layak untuk memberikan kesaksian yang obyektif. “Dalam hukum pidana, saksi haruslah orang yang melihat, mendengar, dan mengalami langsung kejadian. Jika mereka hanya saksi berdasarkan hubungan dengan pelapor, maka kredibilitasnya patut dipertanyakan,” jelas Icang. Temuan ini diperkuat oleh dokumen pendukung yang memuat kronologi pemeriksaan dan identifikasi saksi, yang disajikan secara seragam layaknya salinan copy-paste.
Di dalam dokumen dari kedua perkara pidana, yakni Nomor 16/Pid.B/2025/PN Pbm dan Nomor 17/Pid.B/2025/PN Pbm, memuat informasi penting mengenai kronologi kasus. Dalam dokumen tersebut, terungkap bahwa saat ketiga sahabat IWO melakukan investigasi dilapangan, pengusaha minyak curah yaitu Alwi Adam yang menjadi korban menyanggupi akan memberikan uang sejumlah satu juta kepada ketiga sahabat IWO agar kasusnya tidak diekspos di media. Fakta ini menambah dimensi lain pada kasus, yakni dugaan adanya praktik kecurangan dalam perdagangan minyak ilegal, mengapa Alwi Adam harus merasa terintimidasi dan ketakutan kalau memang usaha yang di jalan kan nya tidak ada kecurangan.

Di balik gejolak persidangan, unsur human interest yang kuat muncul dari solidaritas rekan-rekan wartawan. Komunitas IWO Indonesia, khususnya dari DPW dan DPD wilayah Sumatera Selatan, menunjukkan dukungan moral dan solidaritas yang tinggi terhadap ketiga terdakwa. Dukungan ini tidak hanya terbatas pada kata-kata, tetapi juga diwujudkan melalui aksi damai. Rencana aksi damai yang akan digelar pada Senin, 10 Maret 2025, di Halaman Pengadilan Negeri Prabumulih, merupakan bentuk demonstrasi dukungan sesama wartawan serta tuntutan keadilan yang transparan.
Dalam pernyataannya, Icang menegaskan kembali komitmen pendampingan hukum terhadap sahabat-sahabatnya. “Kami mohon doa dari semua pihak. Aksi damai ini merupakan wujud upaya kami mengawal proses peradilan agar keadilan ditegakkan secara seadil-adilnya,” ungkapnya. Pernyataan tersebut disampaikan sambil menegaskan bahwa apapun putusan hakim nantinya, hak asasi terdakwa harus dijunjung tinggi dan proses hukum harus berjalan sesuai dengan asas legalitas dan keadilan.
Selain keterangan langsung dari Icang, wawancara mendalam dengan beberapa pakar hukum independen menegaskan pentingnya verifikasi data dalam persidangan ini. Salah seorang ahli hukum yang turut mengamati kasus tersebut menyatakan, “Keabsahan bukti dan identitas saksi merupakan pondasi utama dalam setiap proses peradilan. Setiap celah dalam verifikasi dapat mengganggu integritas putusan hakim.” Pernyataan ini didukung oleh analisis terhadap dokumen dan rekaman sidang yang menunjukkan adanya pola serupa dalam penyusunan dakwaan.
Para pakar juga menyoroti pentingnya transparansi dari pihak kepolisian dan kejaksaan dalam menghadirkan saksi yang kredibel. Mereka mendesak agar setiap elemen yang hadir di ruang sidang, mulai dari identitas saksi hingga prosedur pengambilan kesaksian, diperiksa secara teliti guna menghindari potensi konflik kepentingan. Hal ini menjadi poin penting dalam upaya menjaga kepercayaan publik terhadap sistem peradilan.
Kasus dugaan pemerasan yang menimpa sahabat IWO ini, dengan segala ketidaksesuaian dan bukti pendukung yang telah terungkap, membuka ruang bagi pengawasan lebih lanjut dari masyarakat dan aparat hukum. Integritas persidangan dan prosedur hukum yang transparan menjadi tuntutan utama agar kepercayaan publik tidak terusik. Dengan didukung oleh data, dokumen persidangan, dan rekaman visual, tekanan untuk mengusut tuntas setiap celah dalam proses hukum semakin kuat.
Solidaritas komunitas IWO dan dukungan dari para pakar hukum menambah dimensi bahwa kasus ini bukan semata persoalan hukum, melainkan juga cermin integritas profesi dan keadilan sosial. Investigasi mendalam yang dilakukan oleh berbagai pihak menjadi bukti bahwa proses pengadilan harus dijalankan dengan standar profesional dan obyektivitas tinggi, demi memastikan bahwa setiap putusan yang diambil benar-benar mencerminkan kebenaran dan keadilan.
Menyongsong sidang selanjutnya yang dijadwalkan pada 10 Maret 2025, seluruh mata publik dan pengamat hukum menantikan keputusan yang akan memberikan kejelasan atas tuntasnya proses hukum. Hingga putusan final dikeluarkan, kasus ini tetap menjadi sorotan penting yang menggugah kepercayaan publik akan sistem peradilan yang adil dan transparan.
(Tim)