MEDIA-INSPIRASI, ACEH SINGKIL – Dengan hari pencoblosan pemilihan kepala daerah (Pilkada) tahun ini sudah diambang pintu, harusnya pihak Panitia pengawas pemilihan (Panwaslih) Kabupaten Aceh Singkil bisa bekerjasama dengan baik membuka ruang publik informasi pemilukada dengan jurnalis. Bukan malah melakukan pengkotak – kotakan.
Hal tersebut disampaikan salah seorang pemerhati Aceh Singkil yang juga alumni Ilmu Politik Fisip USK, Sadryansyah Berutu, S.IP, Kamis, 21 November 2024, menyikapi kegiatan sosialisasi peran media yang diselenggarakan Panwaslih setempat, 20 November 2024, diaula Desa Gosong Telaga Selatan, Singkil Utara, dengan hanya menghadirkan tidak sampai seperempat jumlah jurnalis yang ada didaerah setempat.
Padahal menurut sarjanawan politik itu, peran media sebagai pilar keempat dalam pelaksanaan pesta demokrasi pemilihan kepala daerah ini sangat penting dalam penyaluran atau penyebaran informasi.
Karena media bukan hanya sebagai watchdog yang berperan mengawasi, mengevaluasi dan mengingatkan kinerja, mengawasi dan memberi kritikan terhadap siapapun yang memimpin lembaga legislatif, eksekutif dan lembaga-lembaga yang terkait penegakan hukum.
Tetapi media juga perlu mengangkat atau merespons isu yang berkembang di dalam masyarakat baik terkait ekonomi, politik, hukum, pendidikan, kebudayaan dan hal lain,ungkapnya.
Sehingga dengan dilakukannya pembatasan yang terkesan pengkotak-kotakan jurnalis oleh pihak Panwaslih Aceh Singkil dalam sosialisasi peran media tersebut, menjadi tanda tanya besar, sebut Sadry.
Sadry mengatakan, dalam sebuah tulisan di situs resmi UGM (Universitas Gadjah Mada) memberikan fakta bahwa media mainstream (media lokal) menjadi pilihan masyarakat dalam meraih informasi.
Di sini dapat kita lihat dari banyaknya GWA (Group WhatsApp) yang menghimpun bundle bundle berita, masyarakat diringankan dalam mencari informasi hanya dengan 1 klik. Artinya adalah, Panwaslih Aceh Singkil harusnya lebih terbuka kepada media lokal, jurnalis yang ada di Aceh Singkil bukan hanya memilih beberapa media saja.
Aneh rasanya dengan Panwaslih Aceh Singkil hanya melibatkan 10 media saja dalam sosialisasi peran media. Sementara banyak jurnalis, insan pers daerah setempat, bahkan ada media yang telah terverifikasi dewan pers juga tidak dilibatkan.
Selain menjadi tanda tanya besar dengan kinerja Panwaslih Aceh Singkil, hal itu juga membuat banyak rekan rekan media yang kecewa. “Kalau alasan anggaran, kami masyarakat awam ini ingin tahu 6,5 Miliar itu kemana saja alur penggunaan dana nya, sampai untuk kegiatan demikian pihak Panwaslih menjawab kurang dana” ujarnya.
Watchdog Jurnalisme kalau kita artikan ke dalam bahasa Indonesia kurang lebih maknanya untuk meningkatkan akuntabilitas dalam sistem pemerintahan yang demokratis.
Disamping itu, saya juga masih ingat dengan proses rekruitment petugas Panwaslih kecamatan. Salah satu media lokal kita menyampaikan rekruitment sistem CAT tidak menentukan kelulusan, malah berdasarkan abjad. Bagaimana mungkin diterapkan CAT kalau hasil nilainya tidak menjadi acuan kelulusan, bukannya ini terkesan buang buang anggaran,ungkapnya.
“Kita sepakat mengawasi secara bersama untuk kesuksesan pilkada di Aceh Singkil, seluruh instrumen penyelenggaraan, seluruh APH, seluruh civil society, dan kandidat. Kita ingin pilkada damai, bersih, jujur dan sehat. Jadi kita harus hati hati dalam menjalankan peran, konon hari semakin dekat jangan ada kesalahan yang bisa menyebabkan ketimpangan dimasyarakat” tutupnya.
(Mustadin)