Media-Inspirasi-Delapan puluh tahun kemerdekaan Republik Indonesia adalah sebuah rahmat yang patut kita rayakan. Bukan hanya melalui upacara seremonial, melainkan juga lewat perenungan filosofis, kebudayaan, dan sejarah yang lebih dalam. Kemerdekaan tidak pernah hadir tiba-tiba. Ia lahir dari darah, air mata, doa, dan istiqamah para pejuang yang seringkali tak disebut dalam buku sejarah besar bangsa.
Bagi saya pribadi, refleksi kemerdekaan ini selalu membawa ingatan kepada Ayahanda saya, Mohamad Saleh Kari Sutan (Pakiah Saliah), seorang ulama dan pejuang rakyat kecil dari Nagari Rao-rao, Tanah Datar. Ia tidak hanya menyuarakan perlawanan terhadap kolonial Belanda, tetapi juga hidup dalam garis depan perjuangan rakyat bawah.
Ayahanda saya dibuang oleh pemerintah kolonial Belanda ke Boven Digoel, Papua, pada tahun 1932—sebuah tempat pengasingan yang terkenal keras, penuh penderitaan, dan dimaksudkan untuk mematahkan semangat perlawanan. Namun, justru di pengasingan itulah ia meneguhkan iman dan pendirian.
Pesan beliau sederhana tapi sangat kuat: “Teguhlah dalam kebenaran, sekalipun engkau harus dibayar dengan penderitaan.” Sementara itu, Ibunda saya, Asiah binti Syekh H. M. Said, adalah gambaran dari kekuatan perempuan Minangkabau yang sabar, istiqomah, dan menopang perjuangan keluarga dalam keterbatasan.
Dari Ibunda saya, saya belajar bahwa kemerdekaan bukan hanya soal perang melawan penjajah, tetapi juga perjuangan sunyi menjaga keluarga, membesarkan anak-anak, dan menanamkan nilai iman dalam kesederhanaan. Filosofi kemerdekaan ini sejalan dengan spirit Islam yang menekankan pentingnya perjuangan melawan penindasan dan menegakkan keadilan.
Al-Qur’an menegaskan: “Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah kecuali kaum yang kafir.” (QS. Yusuf: 87). Inilah modal spiritual para pejuang yang tidak menyerah meski ditindas.
Nabi Muhammad SAW bersabda: “Jihad yang paling utama adalah berkata benar di hadapan penguasa yang zalim.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi). Kemerdekaan sejati adalah jihad yang terus hidup: melawan penindasan, menegakkan keadilan, dan berpihak kepada rakyat kecil.
Di Minangkabau, perjuangan itu disebut barek samo dipikua, ringan samo dijinjiang (yang berat dipikul bersama, yang ringan dijinjing bersama). Ayahanda saya mencontohkan hal ini: seorang ulama yang hidup bersama rakyat kecil, tidak meninggalkan umat meski dalam tekanan kolonial.
Sebagai Anggota DPR RI, saya, Ir. M. Shadiq Pasadigoe, SH., MM, meyakini bahwa 80 tahun Indonesia merdeka adalah momentum untuk meneguhkan kembali warisan nilai para pejuang. Dari Ayahanda saya, saya belajar arti istiqomah. Dari Ibunda saya, saya belajar sabar dan keteguhan.
Merdeka adalah ruang untuk berbuat. Merdeka adalah ruang untuk memberi. Merdeka adalah amanah untuk menjaga rakyat kecil dan menegakkan keadilan. “Jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu.” (QS. Ibrahim: 7). Merdeka! Dengan demikian, kemerdekaan bukan hanya sebuah pencapaian, tetapi juga sebuah panggilan untuk terus berjuang dan berkontribusi bagi bangsa dan negara.(Anto)