Media-Inspirasi, Palembang, 7 Juli 2025 — Dalam penantian panjang warga Palembang menuntut keadilan atas terbengkalainya kawasan bersejarah Pasar Cinde, Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan akhirnya membuka tabir skandal korupsi yang diduga melibatkan aktor kunci di balik proyek kerja sama Mitra Bangun Guna Serah (BGS). Data, dokumen, dan keterangan saksi yang dikumpulkan tim penyidik mengarah pada penetapan H, mantan Wali Kota Palembang periode 2013–2018, sebagai tersangka baru dalam pusaran perkara yang merugikan negara miliaran rupiah.
Dokumen kontrak yang didapat tim investigasi menunjukkan, pada 2016 Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan menandatangani perjanjian kerja sama dengan PT MB, perusahaan swasta yang mendapat hak guna atas tanah di Jalan Sudirman, tepat di jantung kawasan Pasar Cinde. Kawasan tersebut bukan tanah biasa — tercatat dalam daftar Cagar Budaya Kota Palembang. “Semestinya pembongkaran tidak bisa dilakukan sembarangan karena ada nilai historis yang harus dijaga,” ujar Dr. Indra Saputra, pakar hukum tata negara Universitas Sriwijaya, saat diwawancarai tim investigasi.
Fakta ini diperkuat dengan salinan Surat Keputusan Cagar Budaya yang kami peroleh dari Dinas Kebudayaan Palembang. Meski statusnya jelas, Pasar Cinde tetap dibongkar pada 2017. Menurut keterangan beberapa pedagang, penggusuran dilakukan tanpa konsultasi yang layak. “Kami tidak pernah dilibatkan. Tiba-tiba digusur, padahal kami di sana puluhan tahun,” ungkap Nuraini (58), pedagang rempah yang kini berdagang di pinggir jalan.
Penelusuran lebih dalam menguak modus yang menjadi kunci dugaan tindak pidana korupsi. Dalam berkas pemeriksaan, terungkap kebijakan pemotongan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang dikeluarkan melalui Peraturan Wali Kota (Perwali) era kepemimpinan H. Dokumen Perwali itu, yang salinannya telah diverifikasi oleh tim redaksi, memberikan diskon BPHTB untuk PT MB.
Namun, di sinilah celah hukum muncul. Prof. Yuniarti, ahli hukum administrasi negara, menegaskan, “PT MB bukan entitas nirlaba. Jadi alasan diskon BPHTB sama sekali tidak sah. Kerugian negara langsung muncul dari pengurangan pajak daerah tersebut.”
Hasil audit internal kejaksaan, yang salinannya diperoleh redaksi, menunjukkan potensi kerugian negara dari potongan BPHTB ini mencapai Rp14,5 miliar. Hingga saat ini, Kejati Sumsel masih memburu sisa kerugian dan membuka kemungkinan tersangka baru.
Selain dokumen perpajakan, bukti elektronik menjadi kunci lain pembuktian. Dalam rilis resmi Kejati Sumsel, disebutkan telah ditemukan transaksi mencurigakan ke rekening milik tersangka H. Salah seorang penyidik senior, yang enggan disebutkan namanya karena alasan keselamatan, membenarkan temuan ini.
“Kami punya bukti transfer bank, percakapan digital, dan juga rekaman perintah H kepada anak buahnya untuk memuluskan potongan BPHTB. Aliran dana tidak hanya berhenti di satu rekening,” ujarnya saat ditemui di ruang penyidikan Kejati Sumsel, Senin (7/7).
Sejauh ini, setidaknya 74 saksi telah diperiksa, termasuk beberapa mantan pejabat Dinas Pendapatan Daerah, pihak pengembang PT MB, serta perwakilan pedagang Pasar Cinde. Kesaksian beberapa orang kunci memperjelas adanya “deal di balik meja” yang merugikan masyarakat luas.
Tim penyidik, berdasarkan pantauan lapangan, juga telah melakukan rekonstruksi di beberapa titik, termasuk lahan bekas Pasar Cinde. Rekonstruksi ini disertai penelusuran aset untuk menutup kerugian negara. Kejati Sumsel berjanji akan menggunakan mekanisme asset recovery, agar aset yang diduga berasal dari aliran dana haram dapat disita.
Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Sumsel, Syaiful Bakhri, SH, menegaskan, “Kami akan kejar ke mana pun aliran uang mengalir. Masyarakat Palembang berhak tahu ke mana aset daerah mereka pergi.”
Di balik angka dan pasal hukum, korban nyata dari kasus ini adalah para pedagang Pasar Cinde. Sejak pasar dibongkar, ratusan pedagang terpaksa berpindah ke pinggir jalan, trotoar, hingga emperan toko. Pendapatan menurun drastis, sedangkan harapan untuk kembali ke pasar permanen tak kunjung terealisasi.
Yadi Sutarno (42), salah satu koordinator pedagang, menuturkan getirnya hidup di lapak darurat. “Dulu kami punya kios, sekarang cuma tenda biru. Kalau hujan banjir, barang rusak. Kami mau ke mana lagi?” ujarnya, matanya berkaca-kaca.
Data Dinas Perdagangan Kota Palembang mencatat, dari sekitar 320 pedagang Pasar Cinde, 70 persen kini berjualan di lokasi tidak resmi, tanpa perlindungan pemerintah kota. Mereka hanya berharap aset pasar bisa kembali ke tangan publik, bukan pengembang yang berkelit di balik kerja sama yang merugikan.
Menurut dokumen penetapan, H dijerat Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor, dengan ancaman maksimal penjara seumur hidup. Sumber internal Kejati Sumsel juga menyebut, tidak menutup kemungkinan muncul tersangka lain, baik dari pejabat pemerintah provinsi maupun pihak swasta.
“Ini baru puncak gunung es. Ada aliran dana ke beberapa rekening lain yang sedang ditelusuri. Kalau cukup bukti, pasti ada penetapan tersangka baru,” ungkap penyidik yang namanya dirahasiakan.
Kasus Pasar Cinde seolah menjadi gambaran konflik laten antara pembangunan, kepentingan bisnis, dan perlindungan aset publik. Warga berharap proses hukum berjalan transparan hingga ke akar. Lebih dari sekadar penjara bagi pelaku, yang ditunggu publik adalah bagaimana kerugian negara dikembalikan dan nasib para pedagang dipulihkan.
Sebagai catatan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga memantau perkembangan kasus ini. Jika ditemukan indikasi lintas wilayah, tidak menutup kemungkinan KPK akan turun tangan.
Pasar Cinde, saksi bisu sejarah Palembang, kini menjadi saksi bagaimana kebijakan publik bisa berubah menjadi ladang korupsi jika diawasi setengah hati. (/Red)