Media-Inspirasi,Cirebon, 5 September 2025 – Keraton Kacirebonan kembali menggelar tradisi tahunan Panjang Jimat, sebuah ritual sakral yang menjadi bagian dari warisan budaya tak benda di Cirebon. Tradisi ini tidak hanya menjadi bentuk pelestarian budaya leluhur, tetapi juga menjadi sarana spiritual masyarakat dalam memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW.
Menurut Sultan Kacirebonan, Pangeran Raja Abdul Gani Natadiningrat ,S.E., Panjang Jimat merupakan rangkaian tradisi besar yang mencakup berbagai kegiatan sakral seperti pembacaan surah Maulid, acara Safaran, hingga Rajaban. “Dalam setahun, kami memiliki beberapa momentum penting untuk merawat nilai-nilai budaya dan spiritual, dan Panjang Jimat adalah salah satu yang paling besar,” ujarnya.
Ritual ini diawali dengan pembakaran dupa dan pembuatan ukup, sebagai simbol datangnya sosok yang membawa keharuman dan kedamaian ke dunia. Setelah itu, prosesi berlanjut ke dalam tradisi pemayungan pusaka, hingga tahap puncak yakni siraman panjang jimat, sebuah ritual penyucian benda-benda pusaka yang diwariskan secara turun-temurun.
“Pusaka yang disucikan ini bukan sekadar benda, melainkan simbol nilai dan ajaran yang terus dijaga,” jelas Sultan. Salah satu ikon utama dalam ritual ini adalah piring jimat berisi tumpeng khas beraroma rempah Arab. Tumpeng ini diyakini memiliki makna filosofis yang mendalam, seperti nilai kesucian, keikhlasan, dan keteladanan dalam bershalawat.
Piring-piring tersebut pun memiliki urutan dan makna tersendiri. Dari piring pertama hingga ketiga, masing-masing dihias dengan bunga dan melambangkan tahapan-tahapan spiritual dalam meneladani sifat Nabi Muhammad SAW.
Melalui tradisi ini, Keraton Kacirebonan ingin mengajak masyarakat untuk merenungi kembali esensi peringatan Maulid Nabi. “Pesan yang tersirat dalam Panjang Jimat adalah bagaimana Nabi Muhammad menjadi suri teladan yang membimbing umat manusia agar tetap berada di jalan yang lurus,” tutur Sultan kacirbonan Pangeran Raja Abdul Gani Natadiningrat,S.E.
Tradisi Panjang Jimat menjadi salah satu bukti nyata bagaimana warisan budaya lokal dapat terus hidup dan relevan di tengah kehidupan modern. Lebih dari sekadar seremoni, tradisi ini adalah jembatan antara masa lalu, kini, dan masa depan.
(Eka)