Media-Inspirasi.com, Maros, Sulawesi Selatan-Kementerian Kebudayaan bekerja sama dengan Lembaga Daulah Salsabilah menyelenggarakan Seminar Semarak Budaya 2025 dengan tema “Pelestarian Sejarah dan Budaya Lokal dalam Bingkai Kebudayaan dan Identitas Nasional”.
Acara ini digelar pada Selasa, 10 Juni 2025, bertempat di Kafe Alfayat, Maros, dan dihadiri oleh sekitar 100 peserta dari berbagai kalangan, mulai dari tokoh masyarakat, akademisi, Relawan dan mahasiswa.
Anggota DPR RI Komisi X Fraksi PKB, H. Andi Muawiyah Ramli (Opu To Tenri Rua), dalam sambutannya menyampaikan apresiasi atas terselenggaranya seminar ini. Ia menegaskan pentingnya pelestarian budaya lokal sebagai bagian tak terpisahkan dari identitas nasional. Menurutnya, pelestarian budaya merupakan bentuk penghormatan terhadap sejarah serta warisan leluhur yang memperkaya kebhinekaan Indonesia.
Salah satu narasumber, H. Andi Fahri Makkasau (Karaeng Unjung), seorang praktisi kebudayaan, menyoroti pentingnya pelurusan sejarah lokal Maros. Ia mengungkapkan bahwa ada
22 Kerajaan awalnya lalu tersisi 16 Distrik Adat pasca kemerdekaan kemudian setelah lahir UU No. 29 tahun 1959 tentang pembentukan Kabupaten Maros hanya menjadi 4 Kecamatan nanti masa Puang Nuntung jadi Bupati akhirnya mekar menjadi 14 kecamatan dan pada saat saya menjabat di DPRD, ia telah menginisiasi berbagai upaya untuk mengangkat kembali sejarah dan identitas lokal tersebut.
“Saya sangat sedih. Sebuah buku yang saya tulis selama hampir 35 tahun, dengan tebal hampir 1.000 halaman, telah diluncurkan secara resmi oleh pemerintah daerah. Namun hingga kini, tidak ada lagi perhatian dari Pemda Maros terhadap karya tersebut,” ujarnya
Ia berharap agar jati diri masyarakat Maros dapat kembali dikenali dan dihargai, sebagaimana pada masa kepemimpinannya bersama Puang Nuntung saat menjabat sebagai bupati.
“Saat itu, kami mengangkat hampir empat ribu ASN yang berasal dari Maros demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” kenangnya.
Lebih lanjut, Karaeng Unjung menjelaskan bahwa kata “Marusu” memiliki beragam makna. Namun, baginya, makna paling esensial adalah sebagai kata sifat yang mencerminkan nilai tepaselira (toleransi) dan tenggang rasa (empati sosial) nilai-nilai yang menjadi ciri khas masyarakat Maros.
Terkait hari jadi Kabupaten Maros, ia menjelaskan bahwa secara historis, Maros telah ada sejak tahun 1472 atau sekitar 554 tahun yang lalu. Namun, tanggal yang dijadikan acuan resmi adalah 4 Juli 1959, yakni saat terbentuknya Kabupaten Maros secara administratif.
“Melalui dorongan dan proses legislasi, akhirnya lahirlah Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2012 tentang Penetapan Hari Jadi Kabupaten Maros, yang hingga kini digunakan sebagai pedoman resmi dalam memperingati hari jadi kabupaten yang kita cintai ini,” pungkasnya.
Ketua Lembaga Daulah Salsabilah yang juga Ketua Panitia, Bang Jho, turut menyampaikan pandangannya. Ia menyebut kegiatan ini sebagai langkah positif, terutama bagi generasi milenial yang dinilai mulai menjauh dari isu-isu sejarah dan budaya.
“Anak-anak muda sekarang seolah menganggap pembahasan tentang sejarah dan budaya sebagai hal yang tabu. Padahal, identitas suatu bangsa dan suku sangat bergantung pada budaya kita di masa lalu. Oleh karena itu, melalui acara seperti ini, kami melibatkan berbagai pihak, termasuk LSM dan pers, untuk membangun kesadaran kolektif akan pentingnya pelestarian budaya,” ujarnya.(Mirwan)