Media—Inspirasi, Barru (Sulsel) — Ernita, ibu dari seorang remaja putri penyandang disabilitas, menyuarakan kekecewaannya terhadap tuntutan ringan yang diajukan jaksa terhadap terdakwa kasus dugaan pencabulan anaknya. Dalam sidang yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Barru, Sulawesi Selatan, jaksa hanya menuntut hukuman tiga tahun penjara bagi pelaku.
“Saya sangat kecewa. Anak saya mengalami trauma berat. Dia penyandang disabilitas, tetapi pelakunya hanya dituntut tiga tahun. Di mana keadilannya?” kata Ernita, Jumat (9/5/2025).
Ia menegaskan bahwa kejahatan terhadap anaknya sudah diperkuat dengan hasil visum dari tim medis, yang seharusnya menjadi bukti kuat dalam memperberat dakwaan. Ernita berharap majelis hakim dapat memberikan vonis yang lebih berat dari tuntutan jaksa.
“Kami sudah menyerahkan semua bukti, termasuk visum. Namun tuntutan tiga tahun itu tidak mencerminkan keadilan bagi anak saya. Saya mohon hakim lebih berpihak pada korban, bukan malah meringankan pelaku,” ujarnya sambil terisak.
Lebih lanjut, Ernita menyesalkan bahwa latar belakang ekonomi keluarganya seolah menjadi hambatan dalam memperoleh keadilan.
“Kami memang tidak punya harta untuk membeli keadilan. Tapi apakah kami tidak punya hak untuk mendapat perlindungan hukum? Saya mohon kepada Jaksa Agung, Kejati, dan Gubernur untuk menegakkan keadilan bagi keluarga kami,” ucapnya dalam tangis histeris.
Saat kedua orang tua korban mempertanyakan tuntutan yang ringan tersebut, jaksa penuntut umum yang juga merangkap sebagai pembela hanya menjawab bahwa dirinya tidak memiliki cukup bukti dan bahwa saksi minimal harus empat orang. Ia menyatakan jika merujuk pada Pasal 289 KUHP, pelaku bisa bebas, dan menurutnya pembuktian melalui Pasal 81 UU TPKS juga tidak dapat dilakukan.
“Jadi, tidak bisa kubuktikan,” kata jaksa tersebut dalam persidangan.
Kasus ini mencuat setelah korban menyampaikan kejadian tersebut kepada keluarganya. Dugaan pencabulan terjadi pada akhir 2024 dan mulai diproses secara hukum pada awal 2025. Saat ini, perkara telah memasuki tahap penuntutan.
Lembaga pendamping perempuan dan anak di Barru juga menyuarakan kekecewaan atas tuntutan yang dianggap terlalu ringan. Mereka menilai sistem hukum belum mampu memberikan perlindungan maksimal kepada kelompok rentan seperti penyandang disabilitas.
“Korban adalah remaja putri penyandang disabilitas. Hukum seharusnya memberikan perlindungan ekstra, bukan malah lunak terhadap pelaku kekerasan seksual,” ujar salah satu aktivis pendamping korban.
Berdasarkan asesmen psikiater, korban memiliki tingkat kematangan mental setara anak usia 1 hingga 2 tahun, meskipun usianya secara biologis telah 19 tahun. Oleh sebab itu, pemeriksaan terhadap korban dilakukan secara khusus dengan pendekatan yang sensitif.
Kini, keluarga besar korban berharap agar majelis hakim dapat menjatuhkan vonis lebih berat daripada tuntutan jaksa, demi memberikan efek jera kepada pelaku serta mewujudkan keadilan bagi korban.
(Abu)