Media-Inspirasi, Prabumulih – Ramadan menjadi momen penuh kenangan bagi keluarga almarhum H. Samiun. Tradisi berbuka puasa yang dahulu dijalankan bersama kini tetap hidup meski tanpa kehadirannya.
Di kediaman lama mereka di Komperta, Jalan Duku, Kota Prabumulih, waktu berbuka puasa selalu menjadi ajang berkumpul keluarga. Hj. Sumini, istri almarhum, memastikan hidangan siap tepat waktu, sementara H. Samiun duduk di kursinya dengan senyum hangat. Kini, rumah tersebut telah ditempati orang lain, tetapi kenangan di dalamnya tetap membekas dalam ingatan anak-anaknya.
Setiap Ramadan, Dodi, anak sulung yang kini tinggal di Palembang; anak kedua yang menetap di Prabumulih; Acik, anak ketiga yang berkeluarga di Muba; Tika, anak keempat yang bekerja di Sungai Lilin; serta Ayu, si bungsu yang kini tinggal bersama Hj. Sumini di Plaju, selalu mengenang kebersamaan mereka saat berbuka.
Almarhum H. Samiun selalu menekankan pentingnya kebersamaan saat berbuka puasa. “Kalau sudah azan, jangan langsung makan. Kasih jeda sedikit beberapa menit setelah azan Magrib,” ucapnya yang kini terus diingat anak-anaknya.
Saat waktu berbuka tiba, ia akan memulai dengan kurma dan segelas air putih sebelum memimpin doa. “Puasa ini bukan hanya soal menahan lapar, tapi tentang melatih hati,” kata-kata itu masih terngiang di telinga keluarga.
Setelah berbuka, suasana penuh kehangatan. Canda tawa mengalir, dengan Acik yang kerap melontarkan lelucon, sementara Tika membantu ibunya merapikan meja. Ayu, sebagai anak bungsu, selalu mendapat perhatian lebih dari almarhum.
Namun, sejak kepergian H. Samiun, rumah lama mereka perlahan kehilangan keriuhan. Masa jabatan beliau berakhir, dan keluarga harus meninggalkan rumah di Komperta. Kini, mereka berusaha menjaga tradisi berkumpul setiap Ramadan untuk tetap merasakan kehangatan kebersamaan.
Dodi mengenang bagaimana ayahnya menanamkan kedisiplinan dalam beribadah. “Ayah selalu mengingatkan bahwa puasa bukan cuma soal menahan lapar, tapi juga soal menjaga hati dari amarah,” katanya.
Sementara itu, Tika masih terbiasa mencicipi masakan sebelum berbuka, kebiasaan yang dulu selalu ia lakukan bersama ibunya. “Setiap mencicipi makanan, aku selalu ingat suara Ayah yang bilang, ‘Jangan habiskan dulu, itu untuk berbuka’,” ujarnya sambil tersenyum.
Meskipun kini tinggal di rumah yang berbeda, tradisi yang diwariskan H. Samiun tetap dijalankan. Menjelang Idulfitri, rasa rindu semakin mendalam. Biasanya, pagi Lebaran diawali dengan almarhum mengenakan baju koko putihnya dan berangkat ke masjid bersama anak-anak laki-lakinya. Sepulangnya, ia akan duduk di ruang tamu, menunggu satu per satu anggota keluarga menghampiri untuk bersalaman dan meminta maaf.
Bagi keluarga H. Samiun, Ramadan bukan sekadar menahan lapar dan dahaga, tetapi juga tentang menjaga warisan cinta dan kebersamaan. Meski sang ayah telah tiada, nilai-nilai yang ia tanamkan tetap tumbuh dalam diri anak-anaknya.
Setiap kali berbuka puasa, mereka menyadari bahwa dalam setiap suapan makanan dan tegukan air putih, ada kenangan yang terus menghidupkan sosoknya. “Ayah tidak benar-benar pergi. Ia selalu ada dalam doa-doa kami,” ujar salah satu anaknya.
Tahun demi tahun berlalu, tetapi momen berbuka puasa bersama tetap membekas. Kini, meski tanpa kehadiran fisik ayah, keluarga ini berusaha menjaga tradisi berkumpul. Mereka ingin memastikan bahwa nilai-nilai yang diajarkan tetap terjaga, bahwa meski rumah telah berpindah tangan, cinta dan kebersamaan tidak akan hilang.
Ramadan bagi keluarga ini bukan hanya soal berbuka puasa, tetapi juga tentang mengenang dan meneruskan nilai-nilai yang telah ditanamkan. “Ayah mungkin telah tiada, tetapi kasih sayangnya tetap ada dalam doa-doa kami,” ujar mereka.
Setiap kali duduk di meja makan, mereka merasa bahwa H. Samiun masih bersama mereka—dalam setiap gelak tawa, dalam setiap hidangan yang tersaji, dan dalam setiap doa yang dipanjatkan. Ramadan tanpa ayah memang tak lagi sama, tetapi cinta yang ia tinggalkan akan selalu abadi.
(/Red)