MEDIA-INSPIRASI, JOMBANG – Lingkaran Survei Indonesia(LSI), Denny JA periode pertengahan Nopember 2024, mengungkap fakta mengejutkan bahwa 70,9% masyarakat jombang ingin ganti bupati. Hasil survey ini meneguhkan temuan PUSDEHAM Unair dimana 77,7% masyarakat jombang menginginkan hadirnya pemimpin baru yang jujur dan amanah.
Saat didalami alasan kenapa masyarakat jombang ingin ganti bupati, kedua lembaga kredibel ini sama-sama menemukan fakta dilapangan dimana tidak ada legacy yang bisa berdampak pàda perbaikan ekonomi masyarakat. Justru kepemimpinan lama hanya memproduksi kemiskinan dan pengangguran.
Demikian tertulis, dari link FB yg saya terima semalam. Infonya, pemilik akun FB ini adalah konsultan dari Paslon WARSA.
Benar, angka 70,9% itu sangat tinggi. Jika angka itu dibaca secara tunggal, seakan penguat kalau warga jombang ingin perubahan. Namun menjadi anomali jika membaca persepsi responden ketika ada pertanyaan lanjutan dibawahnya.
Coba cek, pertanyaan lanjutannya. Mundjidah Wahab-Sumrambah tidak mampu memecahkan masalah yang ada di kabupaten jombang, 13,8%. Tidak menepati janji politik, 3,9%. Tiga pertanyaan lainnya yang mempersepsi negatif paslon petahana, namun angkanya, seluruhnya di bawah 3,4%.
Harus dipahami inilah karakter masyarakat. Saat masalah dipertajam dengan pertanyaan lebih spesifik, responden kurang bisa menentukan sikap.
Yang pertama, tentu kita tetap hormat dengan hasil survei yang dilakukan oleh LSI, Pertanyaannya, apakah lembaga survei sehebat LSI bisa salah ?
Bisa ! Kesalahan dalam survei pilkada adalah hal biasa, mengingat populasi data suara hanya diwakilkan oleh sebagian sampel. Dugaan saya, responden LSI untuk survei ini adalah 400 sampel; seperti jamak dilakukan LSI di Kabupaten/Kota lainnya dalam kontestasi pilkada. Angka 400 sampel itu mewakili suara warga di Jombang, yang berjumlah 1,37 juta jiwa.
LSI pun beberapa kali lakukan kesalahan prediksi dalam survei pilkada. Yang paling diingat publik adalah Pilgub Jakarta 2012.
Dalam hasil quick count yang dilakukan LSI sendiri didapatkan, posisi teratas adalah Jokowi-Ahok dengan 43,04%. Sementara Foke-Nara (Fauzi Bowo – Nachrowi) berada di urutan kedua dengan hanya 34,10%. Hasil tersebut berbeda jauh dari hasil survei yang dirilis 10 hari jelang pencoblosan.
LSI kala itu menunjukkan suara Foke-Nara unggul 43,7%. Sementara Jokowi-Ahok 14,4% atau terpaut sekitar 30% suara.
Dan anomali ini tak hanya di pilkada jakarta. Di Aceh, Jawa Barat, dan sejumlah daerah lainnya juga pernah alami.
Mengapa anomali ini terjadi ?
- Pertama, yang sering terjadi, masyarakat sebagai responden alami tekanan saat dilakukan wawancara tatap muka dalam proses survei.
- Kedua, memilih orang yang tidak tepat dalam pengambilan data.
- Ketiga, yang ini mulai sering terjadi di lembaga survei; pengambilan data sampling sesuai pesanan untuk pengaruhi opini.
Ingat, memilih orang yang tepat yang akan memberi data yang benar bukanlah tugas yang mudah bagi lembaga survei. Menargetkan audiens yang salah berarti mendapatkan data yang salah.
Sederhananya, jika pertanyaan dari survei LSI itu dibalik dengan konotasi positif, dengan penargetan orang yg berbeda, hasilnya pasti juga berbeda.
Yang menjadi problem, saat LSI bekerja sebagai konsultan politik salah satu paslon di pilkada jombang. Survei nya menjadi tidak independen, karena dibayar untuk mempengaruhi opini publik. Dan publikasi yg masif, terus menerus ke publik, jika dibiarkan akan menjadi pembenaran.
Maka, selayaknya memisahkan antara lembaga survei dengan konsultan politik maupun tim sukses, agar tidak terjadi upaya pembohongan publik.
Yakinlah, Pilkada Jombang belum usai. Perang urat syaraf WARSA vs MURAH akan terus berlangsung, dengan intensitas semakin tinggi. Tetap bijak dan cerdas lah dalam memilih..!
Didin A Sholahudin
Ketua ICMI Jombang.